Langsung ke konten utama

Ulah Radikal dalam Merawat Kompetensi Guru

Menggemaskan! Itu kesan saya tentang modus pendidikan di negeri tetangga. Tetangganya Timor Leste. Betapa tidak? Ups, tahan dulu. Nanti saja narasinya. Di paragraf ujung sana. Atau di ujung tulisan ini.

Dua pekan terakhir ini saya berkutat dengan koreksi soal. Aneh, memang. Lazimnya, yang dikoreksi jawabannya. Kok, ini soalnya? Begitulah. Eh, belum. Baru begini. Maksudnya, begini ceritanya.
Seperti dalam catatan HOTS yang Lagi Hot #1 dan #2, pada 26 Januari lalu  saya menerima titah. Menemani teman-teman belajar membuat soal HOTS. Lengkapnya: soal tes tulis yang menguji keterampilan berpikir aras lebih tinggi (higher order thinking skills atau HOTS). Kegiatannya bertajuk coaching. Saya juga kewalahan menemukan padanan yang pas untuk kata coaching itu. Di kamus pernah saya temukan arti coach: kereta yang ditarik oleh empat kuda. Semacam kereta kencana tunggangan Prabu Kresna, barangkali. Yang turut berjasa dalam perang agung Bharatayudha itu.

Saya menyanggupi. Dalam hati, saya bimbang. Pihak mana yang kelak tidak betah: peserta atau coach-nya? Karena saya ingin benar-benar seperti delman carteran itu. Mengantarkan penumpang hingga ke alamat masing-masing. Targetnya paten: mahir membuat soal HOTS. Dan sejak awal saya sadar. Alamat peserta berbeda-beda. Ada yang dekat, ada yang jauh. Jalan yang mesti dilalui pun tidak sama. Ada yang lurus, ada yang berkelok. Medan yang harus ditempuh beragam pula. Ada yang datar, ada yang terjal.
Andai kegiatannya berbayar, saya akan cukupkan dengan satu kali pertemuan. Yang berlangsung setengah hari itu saja. Kalau diperpanjang, kasihan yang mbayari. Namun, saya sadar (tumben, ya?). Saya tak bisa berbuat banyak. Untuk negeri saya (karena saya pegawai swasta, bukan negeri). Pun untuk wilayah administratif yang lebih sempit. Bahkan, untuk yang paling sempit sekalipun. Kecipratan amanah selingkung ini saja, sudah anugerah luar biasa.

Saya membulatkan tekad: mengusiri (bentukan dari kusir, bukan usir) coaching hingga tuntas. Dan saya benar-benar menjalankan fungsi kusir: hanya mengendalikan arah. Agar tidak ada penumpang yang tersesat. Sedangkan laju kereta ditentukan oleh power para kuda. Tentu, juga dipengaruhi stamina penumpang: seberapa teguh (bukan nama saya; maka, t-nya tidak kapital) hasrat mereka untuk mencapai alamat. Asli, tentu. Bukan alamat palsu.

Alamat yang sering palsu itulah, yang selalu dan sedang saya gugat. Keterampilan merancang, membuat, dan menyajikan instrumen penilaian hasil belajar itu mestinya sudah tuntas. Di-coach-kan di bangku sekolah. Sebelum (maha)siswa bakal calon guru ditahbiskan sebagai calon guru. Dengan seremoni segala rupa. Jauh sebelum digelar ritual penyematan lencana profesional. Apriori, memang. Bisa jadi, itu fitnah belaka. Mendiskreditkan para (maha)guru. Yang bertahun-tahun menempa teman-teman saya itu. Dengan segenap ketulusan jiwa.

Di akhir pertemuan, saya memberikan tugas: membuat dua butir soal. Lengkap dengan kisi-kisinya. Beserta kunci jawaban dan pembahasannya juga. Disetor melalui surel (surat elektronik; padanan email). Karya yang sudah dikirim saya periksa. Saya beri catatan-catatan. Penanda kesalahan dan petunjuk perbaikannya. Lalu saya kirim balik kepada si empunya soal. Untuk diperbaiki. Hasilnya disetor kembali kepada saya. Saya periksa lagi, coret-coret lagi, kirim balik lagi. Begitu seterusnya. Hingga nihil kesalahan. Setidaknya, menurut kacamata saya. Bila sudah beres, baru saya akan memberikan tugas berikutnya.

Entah. Sampai kapan proses ini akan berlangsung. Sekali lagi, stamina teman-teman menjadi faktor dominan. Saya sih asyik-asyik saja. Merunut relevansi indikator soal dan kompetensi dasar rujukannya. Meraba-raba konstruksi soal yang dikehendaki indikatornya. Mengukur level kognitif yang teruji. Mencermati kejelasan dan fungsi stimulus soalnya. Mencerna keterbacaan bahasa yang digunakan. Menimbang-nimbang kelogisan dan homogenitas opsi-opsi jawabannya. Memprediksi peluang terjadinya multitafsir. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Ketika menjumpai kesalahan, sepele maupun fatal, saya anggap itu proses bagi teman-teman saya. Ya, mengetahui yang salah itu sering menjadi pengalaman berharga. Tahapan yang bermakna dan berdampak terhadap langkah selanjutnya: menjadi bisa menghasilkan yang benar. Sementara, bagi saya, kesalahan-kesalahan itu adalah ilmu autentik. Rambu-rambu yang menyuguhkan petunjuk: apa yang mesti saya lakukan. Jika sikap menerima kesalahan sebagai anugerah ini terus dijaga oleh kedua pihak, saya yakin: semua akan sampai pada alamat. Dengan selamat. Layak untuk dirayakan. Berhak atas sambutan suka cita.

Saya hanya kusir. Menarik tali kendali untuk memastikan arah menuju alamat. Memecut bila kuda menunjukkan gejala salah arah. Itu yang mengejawantah dalam notasi pada karya teman-teman. Saya tidak memberikan angka atau huruf sebagai simbol nilai. Tidak ada rapor. Tanpa ijazah, sertifikat, maupun piagam. Tidak juga berpengaruh terhadap penilaian kinerja. Seluruh proses itu menuju muara tunggal yang murni: memenuhi standar kompetensi guru. Dalam hal ini, kecakapan merancang, membuat, dan menyajikan alat penilaian yang akuntabel.

Kelayakan teknik dan alat penilaian hasil belajar, memang, selalu menjadi perhatian saya. Maklum, saya penghayat aliran kepercayaan: bahwa wajah penilaian adalah cermin untuk melihat rupa pembelajaran. Apa yang dinilai guru, menggambarkan apa yang diajarkan kepada siswa. Bagaimana guru menilai, mencerminkan bagaimana ia mengajar siswanya.

Modus saya dalam upaya merawat salah satu kompetensi teman-teman guru ini, boleh jadi terbilang radikal. Coaching tak berbatas tempat dan waktu, itu radikal. Pelatihan tanpa berujung sehelai sertifikat, itu radikal. Yang lebih radikal lagi: coach-nya tidak mengantongi sertifikat instruktur halal. Yang paling radikal: coach-nya berpendidikan lebih rendah daripada seluruh trainee-nya.

Kepada Ibu/Bapak (maha)guru pendadar para (calon) guru, saya mohon izin untuk melunasi utang Ibu/Bapak: mengantarkan teman-teman saya mencapai kemahiran dalam mengurus penilaian hasil belajar anak-cucu kita. Ibu/Bapak sudah berjasa besar: menanam benih-benih kompetensi itu. Melalui mata pelajaran/kuliah yang Ibu/Bapak ajarkan. Saya hanya membantu merawatnya. Agar benih-benih itu tumbuh menjadi tunas. Agar tunas-tunas itu bertumbuh berbatang berdaun berbunga dan berbuah (sengaja, saya tidak membubuhkan koma pada pemerian dalam kalimat ini; agar masih dikenali sebagai manusia: bisa dan biasa salah).

Nuwun. Pareng.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da