Langsung ke konten utama

Tak Ada Murid Tak Pintar


Dia itu salah satu murid saya. Murid ilmu per-SOAL-an. Mulai dari nol. Besar. Dulu dia suka menyodorkan soal. Sudah jadi naskah sepaket. Minta disuntingkan. Saya baca sekilas. Lalu saya tanyakan: mana kisi-kisinya? Terbelalaklah si empunya soal.

Saya hafal. Mayoritas soal tes di negeri ini tidak menetas dari telur kisi-kisi. Entah. Mungkin terlalu merepotkan. Sempat membuat soalnya saja sudah bejo. Tak perlu dibebani tuntuntan yang lebih merepotkan: membuat kisi-kisi. Atau ada alasan lain: sudah mahir. Tiap pekan membuat soal. Masa, masih harus membuat kisi-kisi juga?

Dalam coaching kelompok pekan lalu, saya bertanya. Kepada seorang teman. Guru, yang juga penjahit. “Apakah penjahit yang sudah mahir juga biasa membuat baju yang dipesan pelanggannya tanpa membuat pola?” Begitu saya bertanya. “Ya tidaklah, Pak,” jawabnya. Sambil berekspresi gemas. Atau menggemaskan?

Murid saya punya alasan yang sama. Sudah tak berbilang naskah soal yang dihasilkan. Dan semua lolos. Tanpa ditagih kisi-kisinya. Barangkali lagi apes. Malam itu, belasan tahun lalu, dia menggugah sardula nendra. Sebenarnya sudah bertahun-tahun saya suka mengintip soal-soal buatannya. Dan saya temukan sejumlah kejanggalan. Tapi saya tak ambil pusing. Lebih enak melanjutkan tidur.
Insiden malam itu saya tangkap sebagai peluang. Kesempatan untuk turut berbakti: menambal kurikulum keguruan yang bolong-bolong. Turun tangan. Sekecil apa pun. Tak sekadar urung angan. Saya pinjam jargonnya Mas Anies, menteri yang tidak awet itu.

Diam-diam saya mengambil dokumen kurikulum. Lalu saya buatkan kisi-kisi soalnya. Lalu saya sodorkan kepadanya. Seperti dipaksa, dia pun membuat soal baru. Mulai dari nol lagi. Sesekali dia minta konfirmasi. Tentang stimulus yang mesti disajikan. Dia mendadak jadi rajin. Membolak-balik halaman koran dan majalah. Tak lagi mengandalkan buku teks, kitab sucinya bertahun-tahun. Malam-malamnya banyak tersita untuk menyeriusi mainan baru: soal yang genah. Dan mulai jarang menggauli mainan lama: saya. (?!)

Satu paket soal tes sumatif selesai. Sinyal-sinyal kelelahan tak bisa disembunyikan. Tapi, ekspresi kegembiraan tak jua mampu dirahasiakan. Rupanya dia mulai menemukan: penampakan ilmu yang pernah dikhutbahkan oleh mahagurunya. Bahwa menilai hasil belajar ternyata tak sama dengan menguji hafalan isi diktat.

Penasaran bercampur bayang-bayang kerepotan. Dia memberanikan diri bertanya: apakah setiap kali membuat soal harus juga membuat kisi-kisinya? Jawaban saya enteng: bukan harus membuat kisi-kisi, tapi harus berdasarkan kisi-kisi. Selama kurikulum belum berubah, satu kali dibuat, kisi-kisi bisa dipakai setiap tahun. Untuk jenis penilaian yang sama. Soalnya saja yang diperbarui. Diubah konteks atau stimulusnya. Atau diganti pertanyaannya. Atau semuanya. Maka, indikator soal mesti elastis.
Murid saya makin bergairah. Bukan terhadap saya! Melainkan terhadap seni merancang soal. Yang mengasyikkan itu. Dua, tiga, empat tahun tak cukup untuk membuatnya mahir. Seraya menapaki jalan menuju kemahiran itulah, dia melengkapi diri dengan kisi-kisi soal. Satu demi satu. Untuk seluruh kelas yang diampu. Untuk berbagai jenis penilaian: akhir tahun, akhir semester, tengah semester. Plus beberapa tes harian.

Ujian tak pernah luput menyambangi pejuang. Ketika bank kisi-kisi soal terpegang, kurikulum berganti. Eh, ber- atau di-, ya? Saya yakin, dia kecewa. Walau tak diungkapkan kepada saya. Justru saya yang sering menampakkan raut muka kecewa. Lantaran dia makin mesra dengan mainan yang mencanduinya: perangkat penilaian. Hingga merenggut malam-malamnya. Yang sebenarnya malam-malam saya pula.

Beberapa tahun terakhir dia menuai akibatnya: didaulat membuat soal untuk dipakai bersama. Digunakan di beberapa sekolah. Mulai sesubrayon. Lalu serayon. Dan hari-hari ini, dia sibuk dengan tugas baru lagi: menelaah soal. Buatan teman-teman sejawatnya. Untuk ujian akhir. Beberapa bulan mendatang.

Duh, saya hanya bisa menyesal! Sungguh, saya jadi tahu: tak ada murid yang tak pintar. Andai saya menyadari ini sedari dulu, pasti saya biarkan dia jumud dalam tradisi soal yang wujuduhu ka`adamihi. Ada rupa, tapi tiada dampak dan makna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da