Langsung ke konten utama

HOTS yang Lagi Hot #1

Banyumanik, 26 Januari 2019

Saya didaulat untuk meng-coach teman-teman. Para guru hebat. Narawiyata SD Islam Hidayatullah. Salah satu sekolah yang cukup dipercaya masyarakat. Di kota lumpia. Coaching penyusunan soal HOTS. Begitu titah yang saya terima.

Tahun lalu saya melaksanakan tugas serupa. Coaching teknik penyusunan soal tes tulis. Tidak ada embel-embel “HOTS”, memang. Tapi saya nakal. Saya sisipkan saran untuk meng-upgrade ke level HOTS. Pada catatan untuk perbaikan beberapa soal buatan teman-teman itu. Kali ini lebih fokus: soal HOTS.

HOTS. Higher Order Thinking Skills. Kata higher sengaja saya tebalkan. Agar tidak menimbulkan kekacauan persepsi. Khawatir. Jangan-jangan timbul dikotomi paradoksal. Low (rendah) versus high (tinggi). Taksonomi Bloom itu menunjukkan kontinum tingkat berpikir. Dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi. Bukan pertentangan. Yang ini rendah dan yang itu tinggi.

Saya mengawali kelas dengan bertanya: “Siapa yang merasa bahwa HOTS ini barang baru?” Semua terdiam. Serba ewuh, mungkin. Akan tunjuk tangan, ragu. Malu. Masa, guru zaman now belum mengenal HOTS. Begitu, barangkali. Kata hati mereka. Untuk tidak tunjuk tangan juga ragu. Bagaimana nanti kalau diminta menjelaskan. Apa, mengapa, dan bagaimana HOTS?

Kemudian saya mulai menyelisik: “Ada yang lulusan 2018?” Empat guru baru tunjuk tangan. Muda semua. Cantik semua. Belakangan guru-guru di sekolah ini didominasi kaum Hawa, memang. Keempatnya saya tanya. Satu per satu. Sudah pernah praktik membuat soal HOTS atau belum. Di kampus dulu. Hanya satu yang mengaku sudah. Yang tiga belum. Padahal keempat-empatnya sekampus. Seprogram studi. Rupanya beda dosen. Beruntung yang satu itu. Tapi jadi beruntung pula tiga yang lain. Karena sempat ketemu saya. Haha. 

Lalu saya tayangkan. Tulisan Pak Imanuel Tri Suyoto. Yang diposkan di dinding Facebook beliau. Tepat sehari sebelumnya (25/1). Pangudarasa tentang karut-marut penulisan soal USBN. Oleh tim penulis tingkat provinsi. Saya boyong lengkap tulisan itu. Ke slide. Atas izin beliau. Tulisan itu hadir pada waktu yang tepat. Kepada saya. Beruntung sekali saya. Dua hari sebelumnya (23/1) saya menemukan nama beliau. Ketika mengomentari  foto Pak Budi Wahyono. Di dinding Facebook. Lalu saya melamar pertemanan. Dan langsung diterima. Tanpa mahar. Lebih beruntung lagi. Saya sempat mengenal beliau. Sejak 20 tahun lalu. Dan beberapa kali nyecep ngelmu beliau. Dalam berbagai forum.

Tulisan Pak Im saya maksudkan untuk membesarkan hati teman-teman saya. Semula. Bahwa kita tidak sendiri. Dalam menikmati penderitaan. Akibat tuntutan untuk membuat soal yang layak. Tapi keberuntungan saya bertambah. Ternyata. Ada pernyataan bernas. Masuk ke kolom komentar. Atas tulisan Pak Im itu. “Yang salah pabrik gurunya.” Persis seperti simpulan saya selama ini. Dan hari ini menemukan bukti autentik. Di kelas yang saya asuh.

LOTS dan HOTS itu tersirat di dalam taksonomi hasil belajar. Di ranah kognitif. Yang dicetuskan Benyamin S. Bloom. Bersama empat koleganya. Hasil riset selama 16 tahun. Hingga dipublikasikan sebagai Taxonomy of Educational Objectives (Taksonomi Tujuan Pendidikan). Pada 1956. Kemudian direvisi pada 2001. Oleh Lorin Anderson. Murid Bloom. Bersama David Krathwohl. Salah satu kolega Bloom. Dalam risetnya sepanjang 1940-1956. 

Taksonomi Bloom menjadi acuan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Selanjutnya, tujuan pembelajaran menjadi acuan. Dalam merancang alat penilaian. Ini diajarkan. Di pabrik-pabrik guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Lalu, pertanyaannya: bagaimana bisa masih ada (jangan dibaca: kebanyakan) guru, produk LPTK, yang gagal membuat instrumen penilaian kognitif bermerk HOTS?

Salahkah? Bila LPTK divonis bersalah? Kesalahannya cuma satu. Sebenarnya. Keburu meluluskan peserta didiknya sebelum berhasil mengajarinya sampai terampil menjalankan tugas profesionalnya: GURU! Itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da