Langsung ke konten utama

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 3 - Habis)

(sambungan dari Bagian 2)

Prinsip ke-8: Menggalang Seluruh Staf Sekolah sebagai Komunitas Belajar

Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam mengkaji, mendiskusikan, dan merasa memiliki usaha pendidikan karakter di sekolah. Pertama dan paling utama, staf memikul tanggung jawab untuk menjadi model pengamalan nilai-nilai luhur dalam perilaku mereka dan memanfaatkan kesempatan untuk memberikan pengaruh positif kepada peserta didik yang berinteraksi dengan mereka. 

Kedua, nilai-nilai dan norma yang mengatur kehidupan peserta didik juga mengatur kehidupan kolektif seluruh warga dewasa di komunitas sekolah. Seperti halnya peserta didik, warga dewasa tumbuh dalam naungan karakter dengan bekerja secara kolaboratif, berbagi pengalaman terbaik, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk memperbaiki segala sendi kehidupan sekolah. Mereka juga harus memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengamati sejawat lalu menerapkan strategi pengembangan karakter dalam bekerja bersama peserta didik. 

Ketiga, sekolah meluangkan waktu bagi staf untuk merefleksi isu-isu yang berdampak terhadap pengalaman kolektif mereka dalam mengamalkan nilai-nilai luhur. Melalui pertemuan-pertemuan pleno dan kelompok-kelompok kecil, staf dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti “Pengalaman pembangunan karakter seperti apa yang sudah diberikan sekolah kepada para peserta didik?”, “Seberapa efektif dan komprehensif pengalaman-pengalaman tersebut?”, “Perilaku moral negatif apa yang gagal diantisipasi sekolah?”, atau “Apa praktik di sekolah yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang disepakati dan hendak dikembangkan sebagai pendidikan karakter?” Refleksi semacam ini merupakan syarat mutlak untuk membangun budaya karakter secara terpadu.

Implementasi prinsip ke-8 tercermin dalam hal-hal berikut.

  1. Staf mampu menampilkan model nilai-nilai luhur dalam interaksi mereka dengan peserta didik dan sesama staf, dan peserta didik dan orang tua melihatnya demikian.
  2. Sekolah melibatkan seluruh staf dalam perencanaan, menerima perkembangan staf dan menyelenggarakan inisiatif pendidikan karakter secara menyeluruh.
  3. Sekolah menyediakan waktu bagi staf untuk merencanakan dan merefleksi praktik pendidikan karakter yang mereka jalankan.
Prinsip ke-9: Memupuk Kepemimpinan Kolegial

Sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan karakter memiliki pemimpin yang benar-benar mau berjuang untuk berhasil dan berbagi tugas kepemimpinan dengan seluruh pemangku kepentingan. Mereka membentuk komite pendidikan karakter—biasanya terdiri atas staf, peserta didik, orang tua, dan anggota komunitas—yang bertanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan, dan menggalang dukungan. Lambat laun sekolah mengambil alih fungsi komite—atau, setelah tujuan pendidikan karakter dipahami secara luas, struktur organisasi formal tidak lagi diperlukan. Pemimpin juga mengambil langkah-langkah untuk mendapatkan dukungan jangka panjang (misal: pemberdayaan staf secara memadai, waktu yang cukup untuk menyusun perencanaan). Selain itu, para peserta didik mendapat peran yang sesuai dengan taraf perkembangan mereka melalui kegiatan cllas meeting, organisasi siswa, mediasi teman sebaya, tutorial lintas usia, regu piket, dan sebagainya.

Implementasi prinsip ke-9 adalah sebagai berikut.

  1. Pendidikan karakter memiliki pemimpin-pemimpin—termasuk kepala sekolah—yang rela berjuang demi mewujudkan cita-cita pendidikan karakter, berbagi tanggung jawab dan kewenangan, dan merancang daya dukung jangka panjang.
  2. Struktur kepemimpinan yang merangkul semua unsur—staf, peserta didik, dan orang tua—akan memperlancar perencanaan dan implementasi prakarsa pendidikan karakter dan memacu peran serta seluruh warga sekolah dalam kegiatan-kegiatan yang berkait dengan pendidikan karakter.
  3. Peserta didik secara nyata dilibatkan dalam menciptakan dan menjaga perasaan menjadi bagian  komunitas serta diberi peran kepemimpinan yang bersumbangsih terhadap usaha-usaha mewujudkan pendidikan karakter.
Prinsip ke-10: Menggalang Keluarga dan Masyarakat sebagai Mitra

Sekolah-sekolah yang melibatkan keluarga dalam usaha membangun karakter mampu memperbesar peluang sukses dalam menangani peserta didik. Mereka berkomunikasi dengan keluarga—melalui newletters, e-mail, malam keakraban, website sekolah, dan konferensi orang tua—mengenai tujuan dan kegiatan berkait dengan pendidikan karakter. Untuk membangun kepercayaan antara orang tua dan sekolah, orang tua punya perwakilan di dalam komite pendidikan karakter atau melalui lembaga pengambil keputusan lain yang ada. Sekolah juga melakukan kiat khusus untuk merambah kelompok-kelompok orang tua yang tidak berkenan menjadi mitra komunitas sekolah. Akhirnya, sekolah dan keluarga mampu meningkatkan keefektifan kemitraan dengan melibatkan komunitas yang lebih luas (misal: lembaga bisnis, organisasi kepemudaan, institusi keagamaan, pemerintah, dan media) dalam memajukan pembentukan karakter.

Berikut adalah implementasi prinsip ke-10.

  1. Sekolah melibatkan keluarga dalam program pendidikan karakter.
  2. Secara berkala, sekolah menjalin komunikasi dengan orang tua dan pengasuh peserta didik, memberikan saran dan kegiatan yang memungkinkan mereka dapat menguatkan pengamalan nilai-nilai luhur, melakukan survei—secara formal atau informal—untuk mengetahui keefektifan pendidikan karakter di sekolah.
  3. Sekolah menggalang peran serta masyarakat luas.
Prinsip ke-11: Memantau Budaya dan Iklim Sekolah

Pendidikan karakter yang efektif harus selalu memantau kemajuan dan hasil yang dicapai, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sekolah menggunakan beragam data penilaian (misal: skor tes akademik, focus groups, hasil survei) yang meliputi persepsi peserta didik, guru, dan orang tua. Sekolah melaporkan data tersebut dan memanfaatkannya untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Sekolah melakukan survei pada awal pelaksanaan program lalu secara periodik melakukan survei lagi untuk memantau kemajuan yang dicapai.

Ada tiga hasil yang penting untuk dipantau. Pertama, sekolah memantau budaya dan iklim sekolah berkait dengan nilai-nilai luhur dengan cara menanyai para pemangku kepentingan sejauh mana warga sekolah mencerminkan pengamalan nilai-nilai luhur itu dan, dengan demikian, berperan sebagai masyarakat etik. Sebagai contoh, sekolah bisa mengadakan survei iklim dengan menanyai peserta didik apakah mereka setuju dengan pernyataan semisal “Para peserta didik di sekolah (kelas) ini saling hormat dan peduli.”

Kedua, Sekolah memantau kemajuan staf sebagai pendidik karakter dengan menguji sejauh mana mereka mampu menjadi model pengamalan nilai-nilai luhur dan memadukan nilai-nilai itu ke dalam pembelajaran dan interaksi mereka dengan peserta didik. Sekolah meminta guru untuk merefleksi pengalaman mereka melaksanakan pendidikan karakter, menyurvei para peserta didik tentang persepsi mereka terhadap guru sebagai model, dan memiliki prosedur administratif baku untuk memonitor perilaku guru.

Ketiga, Sekolah memantau karakter peserta didik dengan menguji sejauh mana mereka memahami, berkomitmen, dan mengamalkan nilai-nilai luhur. Sekolah dapat mengumpulkan data tentang berbagai perilaku yang berkait dengan karakter (misal: kehadiran, membolos, vandalisme, penyalahgunaan obat, menyontek). Sekolah yang efektif mesti menghimpun data tentang hasil perubahan sikap dan perilaku peserta didik dan melaporkannya kepada orang tua sebagaimana mereka membuat laporan kemajuan akademik (misal: buku rapor, pertemuan guru-orang tua).

Berikut adalah implementasi prinsip ke-11.

  1. Sekolah merumuskan tujuan dan secara berkala menilai (kualitatif dan kuantitatif) budaya, iklim, dan fungsinya sebagai komunitas etis.
  2. Staf merefleksi dan melaporkan usaha mereka untuk mengimplementasikan pendidikan karakter, demikian juga peran mereka sebagai pendidik karakter.
  3. Sekolah memantau kemajuan yang dicapai peserta didik dalam mengembangkan pemahaman dan komitmen terhadap karakter mulia dan sejauh mana mereka mengamalkan nilai-nilai luhur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da