Langsung ke konten utama

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 2)

(sambungan dari Bagian 1)

Prinsip ke-4: Membangun Komunitas Peduli

Sekolah yang berkomitmen pada karakter mesti berjuang untuk menjadi miniatur masyarakat madani, yang peduli dan adil. Ini dilakukan dengan menciptakan komunitas yang mendorong seluruh warganya membangun hubungan yang saling menghormati, yang kelak akan membentuk jalinan saling peduli dan bertanggung jawab. Ini mencakup kepedulian antara peserta didik dan staf, antarpeserta didik, antarstaf, dan antara staf dan keluarga peserta didik. Hubungan saling peduli ini akan memupuk minat belajar maupun hasrat untuk menjadi pribadi luhur. 

Semua anak dan kaum muda membutuhkan rasa aman, rasa memiliki dan dimiliki, serta pengalaman berkontribusi, dan mereka lebih mudah menghayati nilai-nilai dan harapan-harapan kelompok yang memenuhi kebutuhan tersebut. Demikian halnya, jika staf dan keluarga peserta didik saling hormat, adil, dan kooperatif dalam pergaulan satu dengan yang lain, mereka lebih mudah dalam mengembangkan nilai-nilai itu pada pribadi peserta didik. Di dalam komunitas sekolah yang saling peduli, kegiatan sehari-hari di kelas maupun lingkungan sekolah yang lain (misal: koridor, kafetaria, lapangan olah raga, bis, ruang tunggu, dan kantor guru) akan diliputi iklim peduli dan hormat kepada sesama.

Implementasi prinsip ke-4 ini akan tercermin pada hal-hal berikut. 

  1. Sekolah memprioritaskan upaya menjalin ikatan saling peduli antara peserta didik dan staf.
  2. Sekolah memprioritaskan bantuan kepada peserta didik untuk membentuk jalinan saling peduli antarsesama.
  3. Sekolah mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah tindak kekerasan dan mengambil tindakan efektif jika terjadi kekerasan.
  4. Sekolah memprioritaskan upaya menjalin hubungan saling peduli antarwarga dewasa di sekolah.

Prinsip ke-5: Menyediakan Kesempatan bagi Peserta Didik untuk Mengaktualisasikan Moral

Seperti halnya pada ranah inteletual, pada ranah etik peserta didik adalah pembelajar konstruktif—cara belajar terbaik bagi mereka adalah melaui berbuat. Untuk membangun aspek pemahaman, penghayatan, dan pengamalan karakter, peserta didik membutuhkan kesempatan yang luas dan beragam untuk mengatasi tantangan kehidupan nyata (misal: bagaimana merencanakan dan melaksanakan tanggung jawab, bekerja sebagai bagian tim, bernegosiasi untuk memecahkan masalah secara damai, mengenali dan memecahkan dilema etik, serta mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan sekolah dan komunitas). 

Melalui pengalaman dan refleksi berulang-ulang, peserta didik akan mampu membangun apresiasi dan komitmen pada pengamalan nilai-nilai budi pekerti luhur. Ketika melayani sesama, sekolah mengikuti pedoman pembelajaran pengabdian (service learning) yang efektif dengan mempertimbangkan aspirasi dan pilihan peserta didik, mengintegrasikan pendidikan pengabdian ke dalam kurikulum, dan melakukan refleksi. Di samping pendidikan pengabdian, pengamalan moral dapat melibatkan pembelajaran resolusi konflik, pencegahan bully, integritas akademik, dan sportivitas.

Prinsip ke-5 menuntut implementasi sebagai berikut. 

  1. Sekolah menetapkan indikator-indikator secara jelas bagaimana peserta didik harus terlibat dalam aksi-aksi yang diharapkan mampu mengembangkan dan mencerminkan karakter mulia.
  2. Sekolah menyediakan beragam wahana bagi peserta didik untuk melibatkan diri dalam aksi-aksi positif dan bertanggung jawab di sekolah, dan peserta didik memanfaatkan wahana tersebut serta melakukan refleksi.
  3. Sekolah memberikan kesempatan beragam dan berulang-ulang kepada peserta didik untuk berkontribusi kepada komunitas yang lebih luas, dan peserta didik memanfaatkan dan merefleksi kesempatan-kesempatan tersebut.

Prinsip ke-6: Merancang Kurikulum Akademik yang Bermakna dan Menantang

Peserta didik datang ke sekolah dengan keterampilan, minat, latar belakang, dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Maka, program akademik yang memungkinkan semua peserta didik meraih sukses adalah program yang isi dan pedagoginya mempertimbangkan semua peserta didik dan memenuhi kebutuhan individual mereka. Artinya, sekolah mesti menyajikan kurikulum yang secara inheren menarik dan bermakna bagi peserta didik dan mengajar dengan cara yang menghargai dan memperhatikan peserta didik sebagai individu. Pendidik karakter yang efektif mesti tampil sebagai model pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, dan peduli dengan cara menerapkan metode mengajar yang beragam, menerapkan beragam strategi belajar-mengajar aktif, dan selalu mencari cara yang memungkinkan karakter berkembang selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung sehari-hari. 

Bila guru mengedepankan dimensi karakter dalam pembelajaran mereka, mereka akan membangun relevansi antara mata pelajaran dan cakupan materinya dengan minat dan keingintahuan peserta didik, dan dalam proses pembelajaran memacu partisipasi dan prestasi peserta didik. Bila guru mampu tampil sebagai model pribadi prima dan etis serta mengembangkan keterampilan sosial-emosi (misal: kesadaran diri dan manajemen diri, serta pengambilan keputusan etik), peserta didik akam mampu mengikuti kurikulum jauh lebih fokus. Bila guru mengembangkan nilai-nilai moral dan performa (misal: integritas akademik, kerakusan intelektual, kemampuan berpikir kritis, dan ketekunan), peserta didik akan jauh lebih mudah untuk melakukan yang terbaik dan menjadi lebih mandiri, kompeten, dan percaya diri.

Implementasi prinsip ke-6 tampak dalam hal-hal berikut.

  1. Kurikulum akademik menyediakan tantangan yang bermakna dan cocok untuk semua peserta didik.
  2. Staf sekolah mengenali, memahami, dan mengakomodasi perbedaan minat, kultur, dan kebutuhan belajar semua peserta didik.
  3. Guru mengupayakan perkembangan etos kerja peserta didik yang menopang kemajuan intelektual, performa akademik, dan kemampuan untuk bekerja secara mandiri maupun kerja sama.

Prinsip ke-7: Menumbuhkan Motivasi-Diri Peserta Didik

Karakter berarti melakukan hal yang benar dan melakukan yang terbaik meskipun tidak seorang pun melihatnya. Alasan utama untuk mengikuti peraturan, misalnya, adalah demi menghormati hak dan kepentingan orang lain—bukan karena takut hukuman ataupun mengharapkan imbalan. Kita mendambakan peserta didik untuk berperilaku baik kepada orang lain karena keyakinannya bahwa kebajikan itu mulia dan hasratnya untuk menjadi pribadi mulia. Kita ingin mereka menunaikan tugasnya sebagus mungkin—tugas yang mengaplikasikan dan kelak mengembangkan kemampuan terbaiknya—karena mereka bangga dengan pekerjaan yang bermutu, bukan sekadar karena mereka mengharapkan nilai bagus.

Membangun motivasi-diri adalah proses perkembangan yang harus diperhatikan dalam pendidikan karakter, agar tidak terjebak pada penekanan imbalan dari luar. Imbalan yang terpaku pada hadiah dan modifikasi tingkah laku bersifat sangat terbatas. Pendidikan karakter berupaya agar peserta didik membangun pemahaman atas peraturan, membangun kesadaran atas bagaimana pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain, dan membangun kekuatan karakter—misal: keterampilan mengendalikan diri, mengambil perspektif, dan menyelesaikan konflik—yang diperlukan untuk betindak secara bertanggung jawab di kemudian hari. Daripada hidup dalam kepatuhan, sekolah lebih baik membantu peserta didik untuk dapat memetik hikmah dari kesalahan-kesalahan mereka melalui penyediaan kesempatan untuk melakukan refleksi, memecahkan masalah, dan merenungkan kilas balik pengalaman masa lalunya.

Konsekuensi yang diterapkan harus relevan (nyambung dengan peraturan dan pelanggarannya), terhormat (tidak merendahkan atau menistakan), wajar (tidak kasar atau keterlaluan), restoratif (dalam rangka memperbarui atau memperbaiki hubungan melalui perenungan kilas balik), memberdayakan (membantu peserta didik membangun kualitas karakter, misal: empati, keterampilan sosial, dan motivasi untuk berperilaku benar—yang tidak diamalkan ketika terjadi masalah perilaku). Staf secara rutin mengelola isu-isu tingkah laku dengan cara-cara positif yang mendorong terjadinya refleksi berdasarkan nilai-nilai luhur, memberi peserta didik kesempatan untuk memperbaiki diri dan meraih kemajuan moral, dan menghargai peserta didik sebagai individu.

Implementasi prinsip ke-7 adalah sebagai berikut.

  1. Staf dan peserta didik menngakui dan merayakan manfaat dan keuntungan dari pengamalan karakter daripada sekadar menghadiahi peserta didik dengan pengakuan dan imbalan materi.
  2. Pendekatan sekolah terhadap perilaku peserta didik menggunakan seluruh aspek manajemen tingkah laku—mencakup penetapan peraturan dan pemberlakuannya—sebagai wahana untuk memupuk perkembangan karakter peserta didik, terutama pemahaman dan komitmen mereka terhadap nilai-nilai luhur.


(bersambung ke Bagian 3)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da