Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar
di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20
tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang
mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah.
Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang
pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni
surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang
mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk
mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia?
Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi
tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan.
Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih
payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala
tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan dan
sorak kemenangan iblis seandainya Adam merasa betah menghuni surga yang didapat
secara gratis itu? Andai Adam tidak berani menantang kompetisi secara fair
di bumi, klaim iblis bahwa bangsanya lebih unggul daripada bangsa manusia dan
karenanya iblis tidak pantas bersujud kepada Adam akan menemukan legitimasi
yang kokoh.
Etos striving itu diwarisi oleh seluruh nabi dan rasul sesudah beliau. Musa a.s., misalnya, seandainya mau berdamai dengan Fir`aun, tentu beliau akan menjelma sebagai putra mahkota yang kelak mewarisi tahta kekuasaan, kekayaan, kejayaan, dan kemasyhuran ayah angkatnya yang mengklaim sebagai tuhan itu. Tapi Musa muda bersikeras memperjuangkan misi hidupnya meski nyawa taruhannya. Begitu pun Muhammad saw.—yang gelar Al-Aminnya bisa melapangkan jalan untuk mendapatkan harta, tahta, dan wanita semau seleranya—justru memilih misi hidup yang tidak populer di kalangan masyarakatnya.
Tradisi perjuangan para utusan Tuhan itu selalu hidup di
setiap jiwa ulama, pewaris para rasul. Sepanjang masa, sejarah mencatat dengan
tinta emas nama-nama pahlawan character building yang silih berganti
tampil di panggung pergulatan peradaban.
Wong legan golek momongan! Ya, peribahasa Jawa ini
tepat untuk mengiaskan pilihan misi hidup mereka. Rata-rata mereka adalah
orang-orang yang “gatel” ketika harus menikmati comfort zone yang
memanjakan. Di ranah agama, mayoritas nabi-rasul samawi maupun para pencetus
ajaran agama nonsamawi dilahirkan dan/atau dibesarkan di “kawasan darah biru”.
Begitu juga para pahlawan kemanusiaan, budaya, bahkan politik. Dalam rekaman
perjuangan melawan kolonial di Tanah Air, misalnya, kita menjumpai deretan
nama-nama berlabel Sultan, Teuku, Tuanku, Pangeran, Raden, atau yang setara.
Last but not least, motif apa yang mendorong Pak Guru
Soedirman meninggalkan murid-murid beserta kapur dan papan tulis di ruang
kelasnya untuk beralih memandu para gerilyawan blusukan di hutan-hutan? Adakah diktum,
janji, atau sekadar peluang bahwa dengan bergerilya beliau berhak “mendapatkan”
lebih daripada yang bisa “didapatkan” dari mengajar? Energi apa yang
menggerakkan si penderita infeksi paru-paru itu hingga sepenuh keyakinan
memimpin perang gerilya kendati mesti sambil menahan sakit di atas tandu?
Adakah harapan bahwa bergerilya akan “menghasilkan” lebih daripada yang
“dihasilkan” dari mengajar?
Panggilan apa yang membawa orang-orang restless itu
sampai ke puncak pengabdian mereka? Enak-enak menjadi wong legan, buat
apa mereka susah-susah golek momongan? Begitulah karakter kaum yang
lebih gemar menakar how much effort they should make ketimbang how
much comfort they could take. Andai setiap pilihan hidup bertolak dari takaran
seperti itu, wow ... betapa larasnya irama peradaban ini!
Setiap individu mengambil posisi sebagai pamong. Setiap
individu menempatkan diri sebagai pengasuh. Setiap individu mendudukkan diri
sebagai pelayan. Setiap individu menganggap diri sebagai abdi. Setiap individu
merasa diri sebagai penggembala.
Lalu apa yang bisa didapat dengan semua “jabatan” itu? No
doubt, masing-masing hanya akan mendapat sesuai dengan niatnya.
Komentar
Posting Komentar