Langsung ke konten utama

Kurikulum 2013: Kritik Pedas bagi Guru

Peran mana yang lebih tepat untuk disandang oleh guru: sutradara atau aktor? Jika pertanyaan ini diajukan kepada guru, tentu jawabannya akan bergantung pada sikap mental si guru. Bagi guru yang bermental kreatif dan inovatif, peran sebagai sutradara tentu menjadi pilihan mantap. Sebaliknya, peran sebagai aktor merupakan pilihan nyaman bagi guru yang daya kreasi dan inovasinya rendah.

Dua peran yang berbeda secara ekstrem itulah yang menjadi pembeda mencolok antara peran guru dalam kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum 2006 memberikan otoritas luas kepada guru untuk mengembangkan kurikulum dengan mengakomodasi potensi lokal (daerah dan sekolah). Sedangkan kurikulum 2013 yang akan segera diberlakukan, seluruh otoritas itu diambil alih oleh Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Mencermati perombakan besar ini, layak kiranya masyarakat bertanya: ada apa gerangan? Beragam spekulasi pun muncul dalam meraba-raba jawaban atas pertanyaan tersebut. Ada yang menduga, KTSP berpotensi menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Sebagian yang lain menduga bahwa KTSP berpotensi untuk menciptakan disparitas mutu pendidikan antardaerah semakin tajam. Sementara, sebagian yang lain lagi mencoba mengevaluasi realitas unjuk kerja guru dalam pengembangan KTSP.

Spekulasi pertama tampak sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi tidak sedikit pun memberikan ruang bagi satuan pendidikan (baca: guru) untuk mengembangkan “kurikulum gerakan separatisme”. Bahwa potensi daerah mendapatkan ruang apresiasi cukup tinggi dalam pengembangan kurikulum adalah benar. Namun, prinsip pengembangan KTSP juga menegaskan bahwa pengembangan kurikulum sejalan dengan motto Bhinneka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dugaan kedua juga tampak sebagai vonis prematur. Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi memberikan batasan yang cukup jelas, kompetensi apa yang mesti dicapai oleh peserta didik. Standar Proses dan Standar Penilaian memandu secara rinci bagaimana guru mesti melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran dalam rangka mencapai kompetensi yang ditetapkan. Standar Pengelolaan memuat pedoman detail bagaimana penyelenggara pendidikan mesti mengelola satuan pendidikan dalam rangka memenuhi standar nasional.

Apabila seperangkat dokumen yang termaktub di dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu diikuti secara konsisten dan konsekuen, dua kekhawatiran di atas tidak perlu terjadi. Lalu muncul kecurigaan: apakah selama ini SNP dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan secara makro dan pengembangan kurikulum secara mikro? Tanda tanya inilah yang melandasi analisis ketiga: satuan pendidikan (sekali lagi, baca: guru) tidak optimal dalam menjalankan perannya sebagai pengembang kurikulum.

Idealnya, KTSP benar-benar menggambarkan “lakon” pendidikan yang dipentaskan oleh sekolah dan guru-gurunya. Ibarat pementasan drama, dengan KTSP didambakan tiap-tiap sekolah menampilkan panggungnya masing-masing dengan skenario yang khas namun alur ceritanya sama secara nasional.

Kenyataannya, tidak sedikit—untuk tidak menyebut sebagian besar—sekolah yang dokumen KTSP-nya seragam, hanya berbeda nama sekolahnya. Mulai dari visi, misi, dan tujuan sekolah hingga kalender pendidikan serupa. Di unit terkecil, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dimiliki guru antarsekolah juga sama, hanya identitas sekolah dan gurunya yang berbeda. Fakta yang lebih ironis, banyak isi dan proses pembelajaran di kelas yang hanya mengikuti skenario buku teks pegangan siswa, halaman demi halaman.

Indikasi kemandulan peran guru dan sekolah itulah yang, tampaknya, menjadi alasan kuat bagi Pemerintah untuk menarik kembali otoritas yang pernah diserahkan kepada satuan pendidikan.

Pertanyaan ikutannya adalah: efektifkah langkah drastis ini menjadi “obat” bagi mutu pendidikan nasional yang dirundung “sakit”? Dalam jangka pendek, obat instan tersebut bisa menjadi penawar. Kurikulum yang built-in dari Pusat, setidaknya, diharapkan mampu meluruskan isi, proses, dan penilaian pembelajaran. Dengan silabus dan buku kerja siswa serta buku panduan untuk guru yang rencananya didikte dari Pusat, mestinya karut marut praktik pembelajaran segera terbenahi.

Namun, dalam jangka panjang, langkah ini bisa merongrong wibawa profesi guru. Betapa tidak? Salah satu indikator guru profesional adalah cakap menyutradarai pembelajaran. Jika hanya sanggup menjadi aktor, yang segala tindakannya tinggal mengikuti arahan sutradara, berarti guru tidak memerlukan pendidikan khusus, apalagi dengan sebutan pendidikan profesi.

Jika dugaan terakhir ini benar—Pemerintah frustrasi terhadap kegagalan guru dalam memainkan peran sebagai agen pengembangan kurikulum—berarti status pendidikan kita sedang gawat darurat. Di belahan bumi mana pun, guru menjadi ujung tombak mutu pendidikan. Sesempurna apa pun kurikulum dalam tataran konseptual, toh hasilnya sangat ditentukan oleh implementasinya di ruang-ruang kelas sekolah.

Ironis, memang, bahwa di tengah ingar-bingar sertifikasi guru, justru otoritas yang memberikan ruang aktualisasi profesionalisme guru dikebiri. Tetapi, yang lebih memrihatinkan, pemegang otoritas itu sudah mandul sebelum dikebiri. Lalu dengan cara apa lagi upaya peningkatan kompetensi guru mesti dilakukan? Sebuah bahan renungan bagi semua pemangku kepentingan pendidikan, utamanya pemilik kewenangan dalam pengadaan, pengangkatan, dan pembinaan pahlawan tanpa tanda jasa ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da