Langsung ke konten utama

Guru Kelas atau Guru Mata Pelajaran?

Ironis! Akhir-akhir ini semakin sering orang memandang sebelah mata terhadap status guru sekolah dasar (SD) sebagai guru kelas. Di jagad persekolahan, istilah guru kelas merujuk pada guru yang mengampu semua mata pelajaran generik di satu kelas. Mata pelajaran generik di dalam kurikulum yang tengah berlaku di SD saat ini meliputi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). 

Kegamangan atas pemberlakuan status guru kelas datang dari dalam dan luar sekolah. Dari dalam, mulai muncul perasaan kurang percaya diri (PD) pada sebagian guru SD untuk mengajarkan banyak mata pelajaran. Alasan yang melatarbelakangi adalah keberatan atas tuntutan untuk menguasai bahan pelajaran. Berkembang pandangan bahwa materi pelajaran SD dewasa ini jauh lebih sulit ketimbang belasan tahun yang lalu, ketika para guru itu duduk di bangku SD. Bahkan, ada yang memvonis tidak profesional bila seorang guru SD yang bukan sarjana matematika, misalnya, harus mengajarkan matematika di kelasnya. Guru golongan ini menuntut pemerintah untuk mengubah kebijakan: guru SD semestinya berperan sebagai guru mata pelajaran.


Dari luar, nada keberatan kadang terdengar lebih agresif. Keraguan terhadap kompetensi guru untuk mengajarkan mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya menjadi pemicunya. Bahkan, dalam beberapa kasus, kritik ini tidak sekadar kekhawatiran. Kesalahan konsep yang tertanam di memori siswa akibat kemiskinan pemahaman guru kadang terjadi. Kepercayaan terhadap guru makin mendekati titik nadir ketika guru enggan mengakui kemiskinannya itu.

Disorientasi
Baik dari dalam maupun luar, kegamangan tersebut sebenarnya berakar pada disorientasi pendidikan. Jika masih sebatas keraguan atau kekhawatiran, keberatan atas peran guru kelas hanya mengisyaratkan terjadinya disorientasi sekolah (dalam kasus ini SD). Sekolah tidak lagi dipandang sebagai organisasi (calon) manusia (dewasa). Sekolah mulai dipahami sebagai organisasi ilmu pengetahuan. Fungsi sekolah tidak dimaknai sebagai lahan persemaian benih-benih pencinta dan pengembang ilmu pengetahuan, keterampilan, dan budi luhur. Fungsi sekolah mulai bergeser menjadi ajang untuk menyuapkan kodifikasi rumusan pengetahuan, teori keterampilan, dan angan-angan sikap terpuji kepada siswa.

Jika inkompetensi guru sudah menjadi fakta, berarti disorientasi itu sudah menjangkiti lembaga pendidikan guru itu sendiri. Dapat dipastikan, guru yang merasa sudah tidak butuh belajar lagi hanya akan mewariskan watak malas belajar kepada siswa-siswanya. Guru yang merasa sudah selesai alias tamat kewajiban belajarnya hanya akan menjadikan siswa-siswanya sebagai anak-anak "terajar", bukan manusia pembelajar. Guru yang merasa sudah paling benar hanya akan menghasilkan siswa-siswa yang buta terhadap kebenaran.

Sangat disayangkan jika pada masa keemasan profesi guru dewasa ini, justru terlahir --dan, mungkin, akan terus diproduksi-- guru-guru bermental jumud dan katrok!

Back to Nature
What's the nature of schooling? Di dinding depan sebuah sekolah terpampang poster bertuliskan, "Belajar bukan untuk sekolah; belajar untuk hidup." Di sisi yang lain tertulis, "Belajar bukan untuk ujian; belajar untuk memecahkan problema kehidupan."

Betapa relevan kedua pesan itu dengan fenomena mutakhir yang mewarnai jagad pendidikan di negeri ini. Setiap hari, gedung-gedung berlabel Lembaga Bimbingan Belajar selalu dipadati anak-anak yang ingin lolos dalam seleksi masuk sekolah X atau Y. Bahkan, di antara mereka banyak yang berduyun-duyun dan berebut tempat di agen-agen industri pendidikan itu sekadar hendak berburu bekal untuk menghadiri ritual tes atau ujian di sekolah yang sedang mereka tempuh.

Ruang tamu rumah siswa pun banyak yang setiap hari disulap menjadi ruang belajar. Satu, dua, atau bahkan tiga kali sehari guru privat datang silih berganti. Ada yang menjajakan buku-buku bertajuk lembar kerja siswa (LKS), ada yang menjual jasa "mesin" pemberes pekerjaan rumah (PR), ada yang berakting sebagai pemandu kuis ramalan soal ulangan, tes, atau ujian. Semua tipe guru privat ini laris manis.

Bahan ajar yang disantap anak-anak di ruang bimbingan belajar dan les privat sore atau malam itu sama dengan yang dihidangkan kepada mereka pagi harinya di ruang kelas sekolah mereka. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Apakah anak-anak itu begitu rakusnya untuk belajar sehingga tidak pernah merasa kenyang? Atau, menu belajar yang dihidangkan pagi di sekolah sangat tidak mengundang selera sehingga mereka mencari tambal("l" bukan "h")an menu di tempat, pada waktu, dan bersama koki lain?

Apa yang tercermin dari dua fenomena jamak tersebut? Anak-anak itu bersekolah untuk belajar atau belajar untuk bersekolah? Ya, barangkali beginilah akibatnya, jika sekolah berfungsi sebagai gudang pengetahuan yang dikemas dalam aneka mata pelajaran. Lalu, ke mana lenyapnya fungsi sekolah sebagai arena belajar hidup bagi anak-anak yang ingin menyongsong masa depan mereka?

Duh, di mana dapat dijumpai sekolah yang menyediakan ruang keceh masalah bagi siswa-siswinya? Ke mana mesti dicari guru yang seleranya untuk menemani murid-muridnya mencumbui masalah dan kesulitan lebih besar daripada nafsunya untuk memamerkan penguasaannya atas pengetahuan tentang berbagai mata pelajaran? Pengkhianatan terhadap the nature of schooling inikah yang pantas untuk dibayar mahal akhir-akhir ini?

AstagfiruLLAH ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da