“Aku akan menitahkan seorang khalifah di muka bumi.” (Q.S. 2: 30)
Sontak, maklumat dari Sang Khalik itu membuat para malaikat
terperanjat. Dengan nada khawatir, komunitas makhluk langit itu bertanya,
“Mengapa Paduka hendak menyerahkan urusan bumi kepada bangsa yang suka berbuat
korup di sana? Lagi pula mereka gemar membuat pertumpahan darah? Sedangkan kami
senantiasa bertasbih dengan memuji dan menguduskan Paduka.” (Q.S. 2: 31)
Kekhawatiran malaikat cukup beralasan. Bumi merupakan
planet merdeka. Segala fasilitas tersedia. Segenap karsa mendapat kesempatan
untuk diwujudkan. Segala macam nafsu punya peluang untuk berkembang. Upaya
pemuasan nafsu itulah yang berpotensi memicu pertumbuhan perilaku merusak atau
korup. Aneka rupa sumberdaya alam yang terhampar di permukaan atau terpendam di
dalam perut bumi dieksploitasi secara semena-mena. Aktivitas pendayagunaan
sumberdaya alam tidak sekadar berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan,
melainkan terlampau jauh didedikasikan untuk memuaskan keinginan.
Malaikat bukan peramal. Jika kekhawatiran mereka menjadi
kenyataan sejak generasi pertama penghuni bumi, itu pasti karena mereka—dengan izin
Tuhan mereka—sudah mengenali perangai manusia, calon khalifah-Nya di bumi itu.
Totalitas ketaatan yang secara demonstratif mereka unjukkan
di hadapan Tuhan pun tak selayaknya dimaknai sebagai permohonan untuk
membatalkan pengangkatan manusia sebagai khalifah dan mengalihkan tugas itu
kepada bangsa mereka sendiri. Sebagai calon attendant atau pamomong bagi
sang khalifah, wajar jika malaikat perlu tahu kompetensi yang dimiliki manusia hingga
terpilih sebagai calon khalifah-Nya.
Uji
Kompetensi
Untuk menjawab kekhawatiran malaikat, Tuhan menggelar uji
kompetensi. Serangkaian fenomena kosmis ditampilkan. Kepada malaikat disodorkan
titah untuk mengurai fenomena itu. Malaikat pasrah, “Mahasuci Paduka, tiada
kami mengetahui selain apa-apa yang telah Paduka ajarkan kepada kami.” Titah
serupa kemudian dilempar kepada Adam, delegasi calon khalifah. Prototipe
manusia itu—dengan izin Tuhannya—secara saksama dan detail menjabarkan setiap
fenomena yang tersaji.
Malaikat pun bersujud kepada Adam. Fit and proper test
itu mengungkap secara gamblang kecakapan analitis, deskriptif, dan aplikatif yang
bersanding dengan potensi destruktif di dalam diri manusia. Kecakapan ini mutlak
diperlukan untuk menunaikan tugas kekhalifahan di muka bumi. Sang khalifah berperan
sebagai duta Allah dengan misi memakmurkan bumi demi kesejahteraan penghuninya.
Pemakmuran bumi memerlukan kecakapan rekayasa, sedangkan penyejahteraan
penduduk planet ini membutuhkan kecakapan manajerial.
Dalam hal kepatuhan, bisa dibilang malaikat lebih unggul dibanding
manusia. Namun, kepatuhan mereka itu semata-mata by default, tidak by
design. Ketiadaan free will inilah yang membuat mereka tersisih dari
nominasi kandidat khalifah di bumi. Ini bukan degradasi kasta. Karakter
malaikat, yang nir-pamrih, itu memang disiapkan untuk the right job
sebagai pamomong bagi sang pengelola bumi.
Sujudnya malaikat kepada Adam bukan manifestasi
penyembahan, melainkan kesanggupan untuk menjalankan misi sebagai pamomong
umat manusia. Kelak mereka berbagi tanggung jawab, tugas, fungsi, dan
kewenangan. Ada kurir yang menyampaikan berita, petunjuk, perintah, larangan,
imbauan, dan peringatan dari Sang Khalik kepada hamba-hamba-Nya. Ada bendahara
yang mendistribusikan rezeki kepada makhluk menurut takaran-Nya Yang Mahaadil.
Ada jurnalis yang merekam dan mendokumentasikan setiap aktivitas manusia, yang
baik dan yang buruk. Demikian seterusnya; tidak ada satu pun urusan manusia
yang luput dari pengasuhan sang pamomong.
Sikap takzim malaikat kepada Adam tidak diamini oleh kolega
mereka, iblis. Berbekal supremasi primordial, iblis membantah perintah Allah
untuk bersujud kepada Adam. Dengan api sebagai unsur utama pembentuk dirinya,
iblis merasa punya strata lebih tinggi daripada manusia, yang terbentuk dari
anasir tanah. Akibat pembangkangannya, iblis harus menerima konsekuensi terusir
dari komunitas dan habitatnya di surga.
Tak cukup hanya besar kepala, ternyata iblis juga tebal
muka. Sudah diusir pun, ia masih tak segan-segan mengajukan sejumlah petisi
kepada Tuhan. Pertama, ia minta penangguhan jadwal kematian hingga hari
kebangkitan manusia dari alam kubur. Kedua, sebagai kompensasi atas hukuman
yang ditimpakan kepadanya, iblis minta job untuk merintangi manusia dari
lintasan jalan-Nya yang lurus. Ketiga, dalam rangka melancarkan aksi sabotasenya
tersebut, iblis bersumpah akan mengurung manusia dari empat penjuru: depan, belakang,
kanan, dan kiri. Keempat, dengan lancang iblis meramalkan bahwa kelak Tuhan
tidak akan mendapati mayoritas manusia yang bersyukur.
Begitu mendapat restu dari Tuhannya, iblis tak mau
menunda-nunda kesempatan untuk memulai aksinya. Adam, sang kandidat khalifah,
dibidik sebagai target korban pertama. Yang tidak boleh terlupakan, sebelum
beraksi, si durjana melakukan penyamaran untuk mengelabui calon mangsanya.
Dalam literatur Ilahiah, kamuflase itu tersirat dalam perubahan identitas dari
“iblis” menjadi “setan”.
Dengan mengaku sebagai penasihat, setan merayu Adam dan
istrinya agar menanggalkan busana kehormatan mereka. Setan mencari celah dengan
memanfaatkan salah satu sikap paling menonjol pada makhluk ilmiah: rasa ingin
tahu (curiosity).
“Wahai, Adam, menetaplah kamu beserta istrimu di taman
surga. Makanlah apa saja yang kalian
dapatkan dari mana saja, tetapi jangan kalian dekati pohon ini. Kalau mendekati
pohon ini, kalian nanti menjadi zalim.”
Rambu-rambu yang diberikan Tuhan itu mengundang penasaran:
ada rahasia apa di balik pohon larangan itu? Lewat celah inilah setan merasuki
jiwa Adam dan Hawa untuk menyulut nafsu hedonistik dan tamak. Bak advokat
tulen, setan berbisik kepada sepasang rivalnya, “Tuhanmu melarang kamu
mendekati pohon ini agar kamu tidak menjadi malaikat atau menjadi penduduk
abadi di surga.” Adam dan Hawa terpedaya, mengabaikan peringatan Tuhan.
Seketika dua sejoli itu menampakkan aurat mereka.
Terhadap kealpaan Adam dan Hawa, Allah memberikan tiga
terapi kuratif. Pertama, Allah menunjukkan tiga fungsi pakaian: penutup aurat,
perhiasan, dan identitas ketakwaan. Kedua, Dia mengajarkan kalimat taubat.
Ketiga, Allah menerbitkan petunjuk dan menjamin kebebasan dari segala kekhawatiran
dan kesedihan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk-Nya.
Fragmen interaksi antara manusia, malaikat, dan setan
tersebut dipentaskan oleh Tuhan sebagai prolog. Usai prolog di surga itu,
manusia resmi mendapat mandat sebagai khalifah Allah di bumi. Berjuta-juta
tahun sudah, manusia—silih berganti generasi—melaksanakan tugas tersebut.
Sepanjang kurun itu pula, malaikat setia memainkan perannya sebagai pamomong
sang khalifah. Sedangkan bangsa setan—sesuai dengan butir-butir petisinya—tidak
pernah capek menggoda manusia. Pergulatan nilai antara ketiga spesies on
duty itu terus berlangsung, membentuk wajah peradaban dunia hingga hari
ini.
Menurut skrip samawi yang sahih, kini manusia telah sampai
pada episode terakhir dalam periodisasi kenabian. Oleh penganutnya, Muhammad
saw. diyakini sebagai nabi dan rasul pamungkas. Al-Quran merupakan edisi final
kodifikasi petunjuk Ilahiah yang menjamin pengikutnya terbebas dari ancaman
perasaan khawatir dan sedih—sebagaimana dijanjikan kepada Adam dan Hawa pada
adegan prolog.
Malam
Istimewa
Sebentar lagi, umat Islam bersiaga menyambut tamu istimewa:
bulan Ramadan. Menurut penjelasan Nabi Muhammad saw., Ramadan memiliki sejumlah
keistimewaan. Pertama, pada bulan inilah Alquran mulai diwahyukan. Kedua,
sepanjang bulan Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa setiap hari. Ketiga, selama
bulan suci ini setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup rapat-rapat, dan
pintu surga dibuka lebar-lebar. Keempat, pada bulan Ramadan terdapat malam yang
istimewa, lebih mulia daripada seribu bulan.
Keempat keistimewaan Ramadan itu punya relevansi kuat
dengan terapi Tuhan terhadap kelalaian Adam-Hawa. Kepada mereka berdua, Allah
menjanjikan petunjuk yang akan menjamin pengikutnya terbebas dari kekhawatiran
dan kesedihan. Perasaan murung (paduan khawatir dan sedih) yang pertama dialami
manusia timbul akibat terbukanya aurat. Dalam bahasa Indonesia, aurat dijuluki
sebagai kemaluan. Ya, aurat merupakan simbol sumber rasa malu. Hanya pengidap
gangguan jiwa yang tidak malu membuka aurat di ruang publik. Rasa malu menjadi
pangkal tolak keputusan manusia untuk melakukan atau menghindari perilaku dosa.
Dosa pertama yang dialami manusia terjadi lantaran aksi
setan yang piawai menghasut. Bagi masyarakat Jawa, setan berkonotasi dengan roh
jahat dan makhluk halus. Menurut desain-Nya, setan memang identik dengan
karakter jahat. Celakanya, ia tidak rela menanggung konsekuensi atas
kejahatannya itu sendirian. Manusialah yang dibidik sebagai mitra untuk
menemani penderitaannya pada hari kelak. Hebatnya, provokasi setan dilancarkan
secara halus melalui bisikan-bisikan lembut dan samar-samar. Hanya kalangan
manusia yang terlatih dalam laku tirakat yang jeli membedakan antara nasihat
dan hasutan.
Dari zaman ke zaman, puasa dikenal luas sebagai puncak laku
tirakat. Bagi umat Islam, puasa
berfungsi sebagai laku tirakat dalam rangka menapaki tangga promosi ke puncak
karier kemanusiaan, yakni takwa. Ketika mendapati Adam dan Hawa sibuk memunguti
dedaunan surga untuk menutupi aurat mereka yang terbuka, Allah mendeskripsikan
tiga fungsi pakaian. Ada pakaian primer sekadar untuk penutup aurat, ada
pakaian sekunder sebagai perhiasan, dan ada pakaian takwa yang disebut sebagai
pakaian terbaik. Melalui puasa, manusia mestinya terbimbing menjadi insan
bertakwa. Dengan berbalutkan sikap mental takwa, niscaya manusia terhindar dari
perilaku tercela yang memalukan.
Bagaimana profil manusia bertakwa itu? Sangat banyak ayat
Al-Quran dan Hadis Nabi yang mendeskripsikan unjuk kerja orang bertakwa.
Sedikit di antaranya termaktub di Al-Quran surat Az-Zariyat: “Hanya sedikit
bagian malam yang dihabiskan untuk tidur; pada waktu sahur (akhir malam) mereka
sibuk memohon ampunan; dan di dalam harta mereka ada alokasi untuk kaum papa,
yang minta maupun yang tidak minta.” (Q.S. 51: 17 – 19)
Sebentar lagi malaikat akan kembali dibuat takjub demi
menyaksikan perilaku asuhannya. Malamnya dihabiskan untuk menjalani ritus
vertikal: salat, tadarus Al-Quran, zikir dengan berbagai kalimat pujian dan
taubat. Siangnya dilalui dengan berbagai ritus horizontal: bekerja, berdakwah,
bersedekah. Di antara seabrek aktivitas itu, terdapat dua amal yang tidak
pernah bisa dilakukan malaikat: bersedekah dan bertaubat. Malaikat tak mungkin punya
peluang untuk bersedekah karena mereka tidak pernah mencari, memperoleh, atau
memiliki materi. Mustahil malaikat sempat bertaubat karena segala yang
dilakukan semata-mata mematuhi perintah Tuhannya.
Kedua aktivitas itulah yang mengundang sikap takzim segenap
malaikat penghuni langit. Pada suatu malam yang ditentukan, mereka
berbondong-bondong turun ke bumi. Sayap-sayapnya dibentangkan untuk menaungi
seluruh permukaan bumi. Dengan izin Tuhan, mereka membawa semua urusan yang
diperlukan para hamba yang sedang bergerak ke puncak ketakwaan. Mereka tebarkan
salam damai dan sejahtera hingga terbit fajar. Itulah Lailatul Qadar,
dambaan para pelaku puasa Ramadan.
Kepada segenap kaum muslim, selamat menunaikan puasa
Ramadan 1433 H. Selamat berburu kemuliaan Lailatul Qadar. Selamat mengejar predikat
takwa. Di samping dinilai oleh Tuhan, puasa kita juga dinantikan dampaknya
terhadap sesama hamba.
Kepada umat non-muslim, selamat membuktikan kualitas
toleransi yang kita warisi dari leluhur bangsa kita. ***
Harus diakui, kualitas Kang GW memang jempolan.
BalasHapusaduh, kasihan teman-teman yg gak punya jempol, Om.
Hapus