Langsung ke konten utama

Quo Vadis Pendidikan Karakter?

To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society. Pesan ini disampaikan oleh mendiang Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat. Secara lebih sinis, pada kesempatan lain presiden termuda yang pernah dimiliki negeri Paman Sam itu menyindir, A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” 

Akhir-akhir ini isu pendidikan karakter mencuat sebagai topik perbincangan yang ramai menghiasi halaman media massa. Berbagai kalangan—pejabat eksekutif, politisi, pakar dan pengamat pendidikan—seolah-olah berpacu unjuk keprihatinan. Semua seperti sudah sepakat bahwa segala bentuk keterpurukan yang melanda bangsa ini merupakan akibat kegagalan sistem pendidikan kita di dalam membangun karakter bangsa.

Di negeri kita tidak sulit untuk menemukan bukti kebenaran tesis Roosevelt tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa pelaku kejahatan di jalan raya yang dijuluki “bajing loncat” adalah orang-orang yang berijazah pendidikan rendah atau sama sekali tidak mengantongi ijazah. Sebaliknya, mayoritas pesakitan dalam kasus tindak pidana korupsi—dari kelas teri hingga kakap—menyandang  gelar akademik di depan atau belakang nama mereka.

Pendidikan Moral

Kegagalan sistem pendidikan kita di dalam mengemban misi character building adalah simpulan yang tak terbantahkan. Namun, perlu dirunut faktor pencetus kegagalan itu. Apakah pendidikan karakter sudah dijalankan tetapi gagal mencapai tujuan? Apakah ia hanya hadir di dalam cetak biru pendidikan tetapi gagal dijalankan sebagaimana mestinya? Ataukah grand design sistem pendidikan nasional kita memang tidak pernah menyediakan ruang bagi pendidikan karakter?

Sepanjang sejarah pendidikan nasional yang penulis alami atau ketahui, muatan pendidikan moral tidak pernah absen dari kurikulum pendidikan formal. Mata pelajaran Pendidikan Agama selalu hadir di dalam struktur kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Demikian juga Pendidikan Kewarganegaraan, yang sempat mengalami beberapa kali perubahan nama. Pada era 1980-an, selain dua mata pelajaran tersebut, bahkan juga ada Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.

Belum lagi penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang pada masa Orde Baru menjadi menu wajib bagi siswa dan mahasiswa baru. Di depan hampir semua sekolah terpampang papan nama Gugus Depan Pramuka dan pada hari tertentu seluruh siswanya mengenakan pakaian seragam cokelat-cokelat. Bukankah Pramuka memiliki Dwi Darma dan Dasa Darma, yang berisi rumusan misi hidup sebagai acuan karakter para anggotanya?

Menilik fakta tersebut, secara ‘ilmul-yaqÄ«n kita tidak bisa memungkiri bahwa grand design pendidikan nasional kita dari waktu ke waktu selalu sarat dengan misi pendidikan moral. Pertanyaannya adalah mengapa semua wahana pendidikan karakter itu tidak meninggalkan jejak pada output yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah kita? Ada apa dengan praktik pendidikan kita?

Dalam perkembangan mutakhir sistem pendidikan nasional, kita mengenal kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum ini, titik berat standar nasional bukan lagi pada materi pelajaran yang harus dikuasai, melainkan pada kompetensi atau kecakapan yang mesti dicapai oleh peserta didik. Bagaimana pendidikan karakter diamanatkan oleh kurikulum yang kini sedang diterapkan? Tabel berikut menyajikan daftar kompetensi yang bermuatan pendidikan karakter untuk kelas I semester 1 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah.

Cuplikan Standar Isi yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tersebut menggambarkan betapa kurikulum sekolah sebenarnya sarat dengan misi pendidikan karakter. Amanat untuk membangun watak itu tersebar hampir di semua mata pelajaran. Seandainya proses pendidikan benar-benar berjalan di atas rel kurikulum, betapa prima karakter anak bangsa ini?!

Untuk mengevaluasi apakah standar kompetensi tersebut dijadikan acuan di dalam praktik pendidikan, kita bisa mengamati proses pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Ketika mengajarkan perilaku jujur, misalnya, apakah guru mengajak anak-anak untuk mendiskusikan alasan mengapa kita perlu berperilaku jujur? Apakah anak-anak diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya ketika berperilaku tidak jujur atau ketika menerima perlakuan tidak jujur dari orang lain? Apakah ibu/bapak guru juga menyediakan anekdot atau lembar pengamatan untuk merekam perkembangan kejujuran anak-anak, yang dapat diisi oleh gurunya sendiri, teman sekelas, orang tua, atau teman sepermainan di lingkungan rumahnya?

Ataukah anak-anak hanya dipaksa untuk menghafal bahan pelajaran yang tertulis di buku-buku teks pelajaran, yang setiap pagi dan siang memaksa punggung mereka terbungkuk-bungkuk membawanya ke dan dari sekolah? Materi hafalan itu biasanya mencakup seputar pengertian jujur, contoh-contoh perilaku jujur, manfaat dari perilaku jujur, akibat dari ketidakjujuran, dan sekelumit cerita rekaan tentang seorang anak yang berperilaku jujur.

Jika proses pembelajaran sudah berjalan seperti ilustrasi pertama tetapi gagal membangun karakter jujur pada siswa, patut dicurigai andil komponen pendidikan di luar sekolah terhadap kegagalan tersebut. Namun, bila potret pembelajaran di sekolah tercermin pada ilustrasi kedua di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter gagal membumi di tataran praksis kurikulum.

Kompetensi Guru

Secara tekstual, kurikulum sekolah sudah mendeskripsikan impian pendidikan karakter. Secara lebih gagah mimpi itu juga dapat dibaca pada rumusan visi dan misi tiap-tiap satuan pendidikan. Bila ternyata mimpi-mimpi indah itu hanya mengawang-awang di langit, evaluasi terhadap kompetensi guru menjadi sebuah keniscayaan. Kurikulum, meski sudah dirancang berbasis kompetensi, tidak akan menuai kompetensi siswa seperti yang diimpikan jika tidak dioperasikan oleh guru-guru kompeten.

Meningkatkan kompetensi guru menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintah, lembaga penyelenggara pendidikan guru, dan berbagai lembaga nonpemerintah yang dibentuk untuk menggerakkan sumberdaya pendidikan memikul tanggung jawab ini. Pola pendidikan dan pelatihan guru—pre-service maupun in service—mesti mengalami reformasi. Langkah-langkah inisiasi pendidikan karakter melalui penyusunan kurikulum eksplisit maupun modul tidak memberikan banyak harapan bila tidak didahului dengan membangun kompetensi guru sebagai pendidik karakter.

Kepada segenap elemen bangsa perlu dikumandangkan pesan Cicero, “Within the character of the citizen lies the welfare of the nation.” Di dalam karakter warga negara terletak kesejahteraan bangsa. Kepada setiap guru Indonesia mesti diyakinkan kesadaran, “You are a character educator!” Ya! Wahai, guru Indonesia, Anda adalah seorang pendidik karakter!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da