Langsung ke konten utama

Nyontek?!

Tiga tahun terakhir saya mendapat tugas mengampu kelas 6—kelas terakhir di sekolah dasar. Pada awal tahun pelajaran, saya selalu bertanya kepada anak-anak, "Siapa yang selama bersekolah belum pernah menyontek?" 

Mencengangkan! Tahun pertama, tahun pelajaran 2009/2010, di antara 127 siswa tak seorang pun tunjuk tangan. Tahun kedua, 2010/2011, tak seorang anak pun—di antara 141 anak—tunjuk tangan. Tahun ini, 2011/2012, satu di antara 152 anak tunjuk jari. Praktis, selama tiga angkatan, dari 420 anak, saya baru mendapati seorang siswa yang belum bergelar penyontek.

Berikutnya saya bertanya, "Siapa yang pernah diajari nyontek oleh orang tua kalian?" Di antara 420 anak tidak ada yang mengacung. Tanya saya lagi, "Siapa yang pernah diajari nyontek oleh ibu atau bapak guru kalian?" Kembali sepi. Tak ada yang tunjuk tangan.

Apakah nyontek itu warisan? Ataukah ia insting? Jadi, mereka bisa tanpa perlu diajari? Simak jawaban mereka atas pertanyaan berikutnya: "Siapa orang yang pernah mengajari kalian ilmu untuk tidak nyontek?" Sunyi! Renungkan!

Bisa jadi, anak-anak seusia itu ketagihan nyontek lantaran mereka tidak tahu menyontek itu tergolong perbuatan apa. Karena selama mereka bersekolah tidak ada orang dewasa yang sempat mendidik mereka untuk tidak menyontek, apa salahnya bila mereka menjadi pencandu perilaku haram itu?

Demi menangkap tengara itu, saya pun mengutip kisah yang ditulis Ratna Megawangi di dalam bukunya Pendidikan Karakter. Tiga tahun berturut-turut, kisah ini menjadi menu pertama yang saya sajikan di depan kelas. Andai Bu Ratna tahu kisahnya dibagi-bagi di depan anak-anak imut begini, saya berharap beliau bangga.

"Anak-anak, pada 1980-an ada seorang mahasiswa IPB (tentu, saya mesti menyela dengan bertanya, 'Siapa yang orang tuanya pernah berkuliah di IPB?') sedang mengikuti ujian semester. Mata pelajaran (mereka belum tahu mata kuliah) yang sedang diujikan adalah IPA (mereka tak kenal Fisika Dasar). Di antara sepuluh soal, si mahasiswa mampu menyelesaikan delapan soal. Dan, ... ia yakin kedelapan soal itu diselesaikan dengan sempurna. Jadi, nilai 80 (mereka tak paham nilai A, B, C, D, atau E) dijamin tercapai. (Saya kembali menyela dengan pertanyaan, 'Apakah kalian puas dengan nilai 80?' Serentak mereka menjawab, 'Tidaaak!')

Begitu juga mahasiswa itu. Ia ingin mendapat nilai utuh 100. Sayang, ia lupa rumus yang harus dipakai untuk menyelesaikan dua soal yang tersisa itu. Waktu yang tersedia untuk menyelesaikan ujian masih tersisa beberapa menit. Si mahasiswa pun memanfaatkan sisa waktu itu untuk memeriksa pekerjaannya.

Thing! Tanpa dinyana—apalagi diminta—temannya yang duduk persis di bangku depannya memegang lembar jawabannya dalam posisi tegak (saya sambil mendemonstrasikan). Otomatis, si mahasiswa tadi (sebut saja Mr. M, sesuai tulisan Bu Ratna) dapat melihat pekerjaan temannya itu. Tak tertinggal, rumus dua soal yang tersisa itu pun tampak jelas di kertas yang dipegang temannya. Waktu yang masih tersisa dimanfaatkan Mr. M untuk mengerjakan dua soal yang tertunda gara-gara lupa rumusnya. Dan, ... siiip! Ketika dua soal selesai dikejar, waktu ujian belum habis. 100! Ya, nilai penuh 100 pasti jadi miliknya. 

Ngiiingngng ....! Tiba-tiba telinga Mr. M berdengung kencang. Seakan-akan ada bisikan nasihat agar ia menimbang-nimbang lagi jawaban dua soal yang baru saja usai disusulkan. Bukan menimbang benar atau salah jawaban yang ditulisnya! Yang harus ditimbang adalah halal-haramnya dua jawaban itu. Perang hebat terjadi di benaknya hingga waktu ujian hampir habis. Ketika waktu tersisa hanya dalam hitungan detik, Mr. M memutuskan untuk menghapus jawabannya atas dua soal tersebut.

Waktu ujian habis! Dosen pengawas ujian minta semua mahasiswa meninggalkan ruang ujian. Seorang mahasiswa belum beranjak dari bangkunya: Mr. M. Dengan nada marah, Pak Dosen membentak Mr. M untuk segera hengkang dari ruang ujian. Bahkan beliau mencurigai bahwa Mr. M mencuri waktu untuk menyelesaikan ujian. Mr. M bergeming. Ia terus saja menghapus dua jawaban hasil korupsi itu. Setelah beres, barulah ia keluar. Sambil berpamitan, ia menjelaskan apa yang dilakukannya hingga melewati batas waktu yang tersedia. Pak Dosen melepas kepergian Mr. M dari ruang ujian dengan senyum bangga."

Lalu, begini closing saya, "Anak-anak, jika sekarang Mr. M menjadi pejabat, apakah menurut perkiraan kalian ia akan melakukan korupsi?"

Kompak, mereka menjawab,"Tidaaak!"

"Kalian yakin itu?"

"Yakiiin!" jawab mereka, masih berjemaah.

"Kenapa kalian yakin bahwa ia tidak akan tertarik untuk melakukan korupsi?" Kali ini saya minta anak-anak yang ingin menjawab untuk tunjuk tangan.

Beberapa anak menegakkan salah satu lengannya (saya tidak mempersoalkan tunjuk tangan kanan atau kiri) ke atas. Salah satu di antara mereka saya beri kesempatan untuk berbicara.

"Begini, Pak. Kalau nyontek nggak sengaja saja ia nggak mau, apalagi korupsi. Pasti ia juga nggak selera makan uang hasil korupsi. Ya, kan, Pak?" argumennya.

Pertanyaan saya selanjutnya, "Siapa yang kelak ingin jadi koruptor?"

Sunyi! Tak ada tangan mengacung.

"Siapa yang suka dengan koruptor?" kejar saya.

Sepi! Tak ada yang tunjuk jari.

"Siapa yang benci dengan koruptor?" kejar saya berikutnya.

"Sayaaa ...!" teriak mereka kompak, sambil mengacungkan tangan ke atas.

"Siapa yang masih ingin nyontek lagi?" tantang saya.

Suwung! Tak ada tangan menjulur ke atas. Setelah itu, mereka mendadak mual setiap kali mendengar kata nyontek

Ironinya, kenapa mesti ada gerakan nyontek massal di sekolah-sekolah kita? Apakah sekolah-sekolah itu sedang giat dan gigih berjuang mencetak bibit-bibit koruptor andal di negeri ini?

Ampun!

Komentar

  1. Kini, responden saya bertambah 30 anak. Dan ... seperti Anda tebak, ke-30 mereka mengaku pernah nyontek. Bahkan, sebagian besar mereka melakukan tindakan korup itu pada tes kenaikan kelas terakhir.
    Tapi, syukurlah, mereka kini berani menyatakan MUAK dengan perbuatan nyontek itu. Semoga Dia menerima taubat mereka. Amin.
    Selamat berjuang, benih-benih pemimpin bangsaku ...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da